Transpersonal
A. Pengertian Transpersonal
Transpersonal psychology (psikologi transpersonal) adalah istilah yang digunakan dalam mazhab
psikologi yang digagas oleh, terutama, para psikolog maupun ilmuwan dalam
bidang lainnya yang menekankan penjelasan tentang kemampuan dan potensi puncak
manusia di mana istilah ini secara sistematis tidak memiliki tempat dalam teori
positivistik atau behavioristik (mazhab pertama), psikoanalisa klasik (mazhab
kedua), maupun psikologi humanistik (mazhab ketiga).
Pada awal hingga pertengahan
abad ke-20, teori-teori psikologi barat yaitu Psikologi Klinis dan Psikologi
Eksperimen sangat mendominasi dan menjadi dasar untuk praktik dan penelitian
(Walsh & Vaughan, 1993). Namun kemudian beberapa peneliti menemukan bahwa
ada pengalaman-pengalaman dalam hidup manusia yang dapat merubah perspektif dan
tujuan hidup seseorang secara signi-fikan (Rateau, 2010). Para ahli humanistik
percaya bahwa pengalaman-pengalaman manusia yang transformasional ini sangat
krusial bagi kehidupan dan kesejahteraan, dan tidak dapat diukur dengan metode
pengukuran baku (Braud & Anderson, 1998).
1. Konsep Utama dalam Psikologi Transpersonal
Dalam memahami psikologi
transpersonal dibutuhkan suatu dasar dari pengalaman personal untuk
menghubungkan secara langsung terhadap konsep-konsep ini. Berikut adalah uraian
John Davis dari konsep beberapa ahli untuk membantu memahami psikologi
transpersonal (1) Context, Content, & Process, (2) Self-Transcendence & disindification, (3) Transpersonal Echopsychology, (4) Varieties of
Religious Experiences, (5) Firts-hand & Second-hand
religion, (6) Collective unconscious &arche-types, (7) Peak experience, (8) Hierarchy of needs
& developmental, (9) Pre-Trans Fallacy, reductionism &elevationism, (10) Extrapersonal &transpersonal,
dan (11) Spiri-tual emergency.
2.
Beberapa Teori Psikologi Transpersonal
a.
Psikoanalisis
Kajian
psikoanalisis mengenai agama adalah adanya faktor-faktor luar yang memengaruhi
pembentukan dan pelestarian kehidupan keagamaan. Psikoanalisis berusaha
memberikan jawaban terhadap persoalan bagaimana dan sejauh mana perilaku,
termasuk perilaku keagamaan, harus dipahami melebihi arti dasarnya.
Psikoanalisis melihat agama sebagai insting ketidaksadaran (the
unconsciousness) misterius yang ada dalam struktur kepribadian manusia.
Dengan teori id, ego, superego, memerlihatkan betapa
penelitian-penelitian psikologi yang ada selama ini telah menagabaikan
ketidaksadaran.
Dalam hubungannya dengan agama, psikoanalisis melahirkan
konsep-konsep sebagai berikut:
1)
Ada kekuatan yang memberikan dorongan dan tekanan
pada diri manusia untuk mendapatkan keamanan dan kepuasan dalam keagamaan.
Dengan demikian, manusia memiliki sifat homo religious.
2)
Secara fungsional perilaku keagamaan memiliki
kesamaan antara satu dengan yang lain.
3)
Orang tua memiliki pengaruh dalam membentuk dan
membangun emosi keagamaan pada anaknya dengan pengenalan tentang Tuhan.
4)
Reaksi negatif pada diri manusia semisal dorongan
seksual, ketakutan, dan pelanggaran merupakan gejala tidak sehat pada
penghayatan agama.
5)
Karena dorongan psikologis, Tuhan dan agama dapat
menjadi khayalan dalam arti lahir.
6) Agama
autoritarian dapat menghambat perkembangan kemampuan manusia dan memerkecil
kemampuan manusia untuk berfikir dan merasa.
b.
Behaviorisme
Mazhab behaviorisme melihat manusia sebagai
makhluk yang terkondisikan. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan perilaku
keagamaan, behaviorisme melihat gejala agama sebagai perilaku yang dikondisikan
(conditioned behavior). Behaviorisme melihat manusia
bersifat pasif dan tidak berinisiatif untuk bergerak Gerakan
manusia lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan mekanistis yang berada di luar
kesadarannya, manusia tidak diberikan peluang untuk
menentukan diri (self-determination). Dengan kata lain, behaviorisme menolak kemampuan manusia untuk menentukan
perilaku dirinya sendiri. Behaviorisme menekankan bahwa manusia bertindak hanya
untuk menghindari dan mengurangi ketegangan, baik sosiologis maupun biologis. Berkaitan dengan agama, behaviorisme mengandung
pengaruh yang mendorong dan menjadi perilaku manusia dan lingkungannya.
B.
Tokoh Transpersonal
1.
Carl Gustav Jung (1875-1961)
Tokoh penting dalam psikologi pada abad 20 memberikan
sumangan teiri arkatipe dan ketiaksadaran kolektif yang mewarnai hampir semua
diskusi psikologi transpersonal.
2.
Roberto Assagioli (1888-1974)
Menghasilkan skema yang sangat kompleks untuk
enjelaskan pengembangan pribadi dengan tingkat kesaaran tinggi, menengah dan
rendah dan transpersonal atau tingkat kesadaran yang tingi hanyalah refleksi atau
proyeksi. Dia menciptakan istilah
Psikosintesis dan menggabarkan dua jalur individu untuk realisasi diri yaitu
Psokosintesis pribadi dan Psikosintesi spriritual.
3.
Abraham Maslow (1908-1970)
Konsep utama yang
sering kali disandarkan pada Abraham Maslow adalah tentang aktualisasi diri (self-actualization) dan pengalaman
puncak (peak-experience). Konsep ini
berpandangan bahwa orang yang telah tumbuh dewasa dan matang secara penuh
adalah orang yang telah mencapai aktualisasi diri.
Orang yang tidak lagi
tertekan oleh perasaan cemas, perasaan risau, tidak aman, tidak terlindungi,
sendirian, tidak dicintai adalah orang yang telah terbebaskan dari
metamotivasi. Ini adalah orang-orang yang dapat terdorong untuk mencapai nilai
yang lebih tinggi dan bernilai bagi dirinya, yang tidak dapat diturunkan dengan
hanya sekadar alat, mencakup keberadaan, keindahan, kesempurnaan dan keadilan.
Maslow mendasarkan
teorinya tentang self-actualization
pada sebuah asumsi dasar bahwa manusia pada hakekatnya memiliki nilai intrinsik
berupa kebaikan. Dari sinilah manusia memiliki peluang untuk dapat
mengembangkan dirinya. Perkembangan yang baik sangat ditentukan oleh kemampuan
manusia dalam usahanya mencapai tingkat aktualisasi diri. Menurut teori Maslow,
ketika kebutuhan-kebutuhan dasar seorang individu telah terpenuhi maka akan
muncul kebutuhan yang lebih tinggi yakni kebutuhan akan aktualisasi diri.
Dengan kata lain, aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang paling
tinggi dalam teori ini.
Berbeda dari
kebutuhan-kebutuhan sebelumnya, yang didorong oleh kebutuhan-kebutuhan dasar,
aktualisasi diri dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan yang bernilai tinggi, yang
dikenal dengan istilah metamotivation atau b-values (being values). Dijelaskan
lebih lanjut oleh Maslow, dalam
teorinya tentang hierarki kebutuhan, bahwa kebutuhan manusia didorong oleh dua
bentuk motivasi, yakni motivasi kekurangan (deficiency
motivation) dan motif pertumbuhan (growth
motivation). Motif kekurangan
ditujukan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan organismic yang disebabkan oleh
―kekurangan, seperti lapar (kekurangan makan), haus
(kurang minum), takut (kekurangan rasa aman) dan sebagainya.
Meski demikian, dalam
kondisi tertentu orang yang tidak mengaktualisasikan diri juga dapat didorong
oleh b-values, utamanya ketika
terdapat kondisi-kondisi tertentu yang memaksanya. Dalam kondisi demikian,
seorang individu dapat menunda pemenuhan kebutuhan dasarnya (basic needs) dan termotivasi oleh b-values atau metamotivation. Namun dalam situasi normal, hanya seorang individu yang mengaktualisasikan dirilah yang
didorong oleh b-values.
Meskipun manusia
memiliki kapasitas untuk tumbuh dan berkembang secara sehat namun tidak
semuanya dapat mencapai tingkat aktualisasi diri, bahkan hanya sedikit orang
yang dapat mencapainya. Hal ini disebabkan, karena di dalam diri manusia itu
sendiri terdapat dua kekuatan yang saling tarik menarik. Kekuatan yang satu
mengarah pada pertahanan diri, sehingga yang muncul adalah rasa takut salah,
takut mengambil resiko, tergantung pada masa lalu dan sebagainya. Sementara
kekuatan yang lain mengarah pada keutuhan diri dan keunikan diri, serta
mengarah kepada terwujudnya seluruh potensi yang ada dalam diri, sehingga yang
muncul adalah kepercayaan diri dan penerimaan diri secara penuh.
Dalam proses
pertumbuhannya, manusia dihadapkan pada dua pilihan bebas (free choices), yakni pilihan untuk maju (progressive choice) atau mundur (regressive choice), di mana masing-masing akan mengarahkan manusia
menuju kemajuan atau kemunduran; seperti pilihan untuk pertumbuhan atau
kemandegan, kemandirian atau ketergantungan, kematangan atau ketidakmatangan,
kepercayaan atau sinisme, kebaikan atau kebencian, keramahan atau kemarahan,
keadilan atau pelanggaran hukum dan lain sebagainya.
Pilihan -pilihan di
atas adalah merupakan ukuran yang akan menentukan arah perjalanan manusia,
mendekat atau menjauh dari aktualisasi diri. Semakin banyak manusia menentukan
pilihan pada pilihan maju maka akan semakin mendekatkannya pada aktualisasi
diri. Demikian pula sebaliknya, jika seorang individu banyak menentukan pilihan
pada pilihan mundur maka hal itu akan semakin menjauhkannya dari aktualisasi
diri. Dengan demikian, seorang akan dekat pada aktualisasi diri jika ia semakin
sempurna yang disebabkan oleh pilihan maju mereka sendiri. Maslow berpandangan
bahwa untuk menuju pada aktualisasi diri dibutuhkan lingkungan yang baik.
4.
Stanislav Grov (1931)
Memiliki gagasan ekstrim tentang asal kesadaran
eksternal. Dia banyak melakukan eksperimen tentang kesadaran dengan metode
Ipsychedelics,Izat-zat yang dapat memengaruhi otak an syaraf sehinga
menciptakan kondisi kesadaran atau consciousness
yangberbeda dari biasanya. Hal ini berkembang akibat pembatasan hukum
terhadap penelitian dengan media narkoba. Grof menunjukan tiga domain dari jiwa
yang bisa dituju yaitu ketidak sadara biografis perinatal dan transpersonal.
Transpersonal dibagi tiga katagori pengalaman yaitu dalam realitas consensus
melampaui realitas consensus, dan pengalaman psychoid pada batas fisik
atau mental.
5.
Charles Tart (1937)
Kesadaran
sebagai system yang kompleks komponen yang berfungsi bersama-sama. Masing-masing komponen memilki struktur
dengan cara yang berbeda yang masing-masingnya mampu menciptakan keadaan
diskrit dari kesadaran yang berbeda. Komponen tersebut tidak membangun sebuah
skema spekulatif yang besar, tetapi mereka mencoba untuk menganalisi setiap
d-SoC (discrete state of consciousness).
6.
Ken Wilber (1950)
Ken Wilber bukanlah seorang yang berlatar belakang
sebagai sarjana Psikologi ataupun keilmuan namun berkat temuannya yang
meginspirasi serta dapat memberi sumbangan yang besar pada dunia transpersonal
beliau mengembagkan model spectrum perkembangan dalam sebuah sintesa terhadap
berbagai model kognitif, moral, kepribadian dan perkembangan spiritual. Ken
Wilber juga telah mengembangkan model evolusi kesadaran yang menginterasikan
filsafat dan psikologi dari arat dan timur, kuno dan modern. Yang iya namakan
sebagai Integral Psychology.
7. William James (1842-1910): Konsep Religious Experience
James menekankan
bahwa sifat manusia yang khas ditemukan dalam kehidupan dinamis arus kesadaran
manusia. Baginya, kesadaran merupakan kunci untuk mengetahui pengalaman
manusia, khususnya agama. Untuk menafsirkan agama, orang harus melihat isi
kesadaran keagamaan.
James melihat
kesadaran keberagamaan sebagai hal yang subyektif. Bagi dia kebenaran harus
ditemukan, bukan melalui argumen logis, akan tetapi melalui pengamatan atas
data pengalaman. Dalam pandangannya, jalan lapang menuju kesadaran keagamaan
adalah melalui pengalaman keagamaan yang diungkapkan orang. Oleh karenanya,
pemahaman keagamaan tidak hanya cukup diperoleh melalui teori-teori atau
dalil-dalil yang menjadi pijakan seluruh penganut agama tertentu, tetapi harus
dibuktikan melalui data pengalaman.
Menurut James studi
agama harus memfokuskan diri pada perilaku keagamaan
pribadi, karena bahan asli ilmu agama sangat bergantung pada pengalaman
keagamaan pribadi.
8. Gordon Allport (1897-1967): Konsep Becoming
Gagasan Allport
tentang spiritualitas tidak dapat dipisahkan dari gagasan besarnya tentang
kepribadian; yaitu yang dikenal dengan konsep menjadi (becoming). Kepribadian tidak hanya dipahami dari asalnya
kebutuhannya yang instingtif atau pengaruh lingkungan di masa lampau.. Meski
kepribadian bersifat tetap dalam eksistensinya, namun ia terus menerus berubah,
karena merupakan produk kompleks dari turunan biologis, pengaruh budaya, gaya
pemahaman, dan pencarian spiritual.
Meskipun kepribadian terus
menerus berubah, setiap pribadi memiliki ciri kesatuan, keutuhan dan perbedaan
yang khas, sebagai inti terdalam yang membuat orang dapat diidentifikasi.
Allport menyebut kekhasan tersebut sebagai propium,
yaitu sesuatu yang lebih sempit dari kepribadian dan lebih luas dari ego. Berkaitan dengan agama, Allport
menempatkannya pada bidang sentiment.
Baginya, agama tidak dapat dijelaskan melalui faktor intrinsik atau emosi.
Agama berkaitan dengan satu set pengalaman yang amat beragam yang dapat
berpusat pada satu obyek religius. Sentimen keadaan ini berbeda antara satu
dengan lainnya. Perbedaan ini mencerminkan individualitas pribadi dalam aspek
pemikiran dan emosi dalam menghadapi makna dan tujuan hidup. Keberagaman agama
berdampak pada keberagaman pengaruhnya pada setiap orang. Demikian pula halnya
dengan penafsiran rasional terhadap agama yang juga tidak terbatas. Atas dasar
itu, mustahil terjadi keseragaman dalam agama. Tidak ada definisi yang akan
mampu menjelaskan kerumitan, kepelikan, dan warna keberagamaan setiap pribadi.
C.
Tujuan Psikologi
Transpersonal
Tujuan psikologi transpersonal adalah
pencapaian potensi tertinggi manusia seperti pada ketidaksadaran tertinggi,
dengan melepaskan hambatan-hambatan. Dalam prakteknya tidak dapat dipungkiri
bahwa meditasi dan teknik kesadaran lainnya adalah hal yang utama.
D.
Psikoterapi Transpersonal
Psikoterapi transpersonal memperbolehkan adanya gabungan
teknik-teknik dalam psikologi, seperti halnya gestalt, behaviorisme,
kognitif, dan psikodinamika.. selain itu, psikoterapi transpersonal tidak engabaikan
tujuan terapi tradisional, namun menambahkannya dengan tujuan seperti
memtransendensikan proses-proses dalam psikodinamika.
Cortright (dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015)
mengidentifikasikan karakter pendekatan transpersonal sebagai berikut, (1) Suatu
kerangka teoritis yang melihat kerja psikologis dalam konteks spiritual, (2)
perlu adanya kesadaran, (3) multidimensi dan experiental, (4) heart-centered, (5) sangat optimistic
dan penuh harapan, dan (6) transformasi psycho-spiritual
membentang jauh melampaui penyembuhan dan pertumbuhan diri.
Asumsi dasar yang dimiliki oleh pendekatan transpersonal adalah bahwa
manusia merupakan makhluk yang kompleks, gangguan-gangguan yang dapat diderita
manusia sangat multidimensional, dan perkembangan ilmu sangat cepat, sehingga
tidak mungkin hanya menggunakan hanya satu strategi. Terapi-terapis
transpersonal mencari memtode dari perpaduan teknik-teknik mainstream dengan
perspektif transpersonal yang bertujuan untuk mencocokkan dengan kebutuhan
klien. Perbedaan utama antara pendekatan transpersonal dengan
pendekatan-pendekatan konvensional adalah terapi dilihat dari sisi spirituak
dan transformasi, dan menggunakna praktik-praktik spiritual misalnya meditasi.
1.
Proses
Terapi Transpersonal
Terapi transpersonal
mempunyai sasaran untuk menyambungkan kembali klien dengan sumber kebijaksanaan
yang ada dilamnya, selain itu juga menggabungkan conscious ego dengan subconscious
yang ada di dalam dengan maksud untuk mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan
individu untuk menyembuhkan diri. Adapun hasil yang ingin dicapai oleh terapi
transpersonal, antara lain:
a. Pemahaman
bahwa ide, kepercayaan, dan ekspektasi, ketiganya memainkan peran dalam
perwujudan pengalaman peribadi. Klien dilatih untuk memahami bahwa energy
psikis mereka berperan dalam setiap pengalaman.
b. Menyadari
dan kemudian menelaah ide, kepercayaan, dan ekspektasi yang dimiliki. Setelah
klien paham, maka langkah kedia adalah mengidentifikasi dan menelaah hal-hal
tersebut.
c. Memahami
dan mengapresiasi kekuatan kesadaran. Dalam hal ini klien harus menyadari bahwa
ia memiliki control sepenuhnya akan pikiran-pikiran sadarnya.
d. Memilah-milah
dan berdamai dengan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan.
e. Meminta
bantuan dan bimbingan dari hati nurani. Ego dan hati nurani klien haruslah
selaras. Apabila bertentangan maka hati nurani tidak dapat memberi masukan pada
ego.
Metode-metode yang dapat
dilakukan dalam terapi transpersonal, antara lain:
a. Rowan
(dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015) menggunakan metode spiritualitas berupa
terapi-terapi transpersonal, image work,
meditasi, dan doa.
b. Metzner
(dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015) menggunakan teknik mendengarkan klien dalam
hal mimpi, mitologi, ide-ide, dan pengalaman yang mengandung suatu hubungan
dengan alam semesta.
c. R.D
Laing (dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015) menyarankan penggunaan intuisi dan
insight bagi terapis sebagai respon bagi klien untuk mengembangkan pertumbuhan
personal, interpersonal, dan spiritual.
d. Boorstein
(dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015) menggunakan teknik meditasi, psychedelics, biblioterapi
spiritual, hypnosis terhadap kehidupan
di masa lalu, yoga, visualisasi, psikodrama, dan holotropic breathing.
e. Davis
(dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015) mengunakan modifikasi perilaku,
restrukturitas kognitid, praktik gestalt,
psikodinamika, dreamwork, terapi
music dan seni, serta meditasi.
f. Psychosynthesis menggunakan visualisasi,
menggambar bebas, training will, ekspresi fisik, menulis, disidentifikasi,
meditasi, kerja interpersonal, dan kerja kelompok.
Dalam psikoterapi
transpersonal terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam hubungan
terapis dan kien, yaitu:
a. Hubungan
bersifat nondual
-
Tidak lagi dibedakan pemikiran yang dikotomi
sebagai subjek dan objek.
-
Menolak istilah dikotomi: normal-abnirmal,
sehat-sakit, waras-gila atau label dikotomi lainnya.
b. Integrasi
satu sama lain
-
Empati dan jarak hubungan
-
Empati adalah resonansi pada diri seseorang
dalam diri orang lain.
-
Menghindari transference
dan counter-transference.
c. Fenomena
linking dan resonansi
-
Linking sebagai
jenis lain dari counter transference,
menurut Rowan (dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015). Pada tahappan tertentu
terapis membiarkan diri menjadi satu dengan klien. Awalnya hanya ingin
menyamakan diri, sehingga lebih mudah dalam berbicara dan menghilangkan rasa
terancam. Namun, hal ini eawan terjadinya counter
transference.
2.
Principle
of Holotropic Breathwork
Posisi teoritis. Holotropic breathwork
adalah metode psikoterapis berdasarkan pengalaman Stan and Chritina Grof di
Esalen Institute in Big Sur, Caliornia, pertengahan 1970. Sebuah pemahaman,
yang luas dari jiwa manusia yang
mencakup biografi, perinatal, dan dimensi transpersonal. Fenomena dari semua
domain dipandang sebagai konstituen alami dan normal dari proses psikologis,
mereka diterima, dan didukung tanpa preferensi.
Proses penyembuhan batin ini mewujudkan
kebijaksanaan, terapi yang melampaui pengetahuan yang dapat diperoleh dari
pemahaman kognitif praktisi individual atau dari sekolah psikoterapi atau kerja
tubuh.
3.
Kekuatan penyembuh dari pernapasan
Dalam masyarakat kuno dan praindustri, napas
dan pernapasan memiliki memainkan peran yang sangat penting dalam kosnologi,
mitologi, dan filsafat, serta alat penting dalam praktik ritual dan spiritual. Sejak
awal, hampir setiap sistem psychospiritual utama berusaha untuk memahami
sifat manusia telah dilihat napas sebagai link penting antara alam,
tubuh manusia, jiwa dan roh. Teknik-teknik khusus yang melibatkan pernapasan
intens atau penahanan napas juga merupakan bagian dari berbagai latihan di
Kundalini Yoga, Siddha Yoga, Vajrayana Tibet, praktik Sufi, Buddha Burma dan
meditasi Tao, dan banyak lainnya.
4.
Menggambar Mandala: kekuatan ekspresif seni
Mandala adalah berasal dari bahasa Sansekerta
yang berarti harfiah “lingkaran” atau “completion”. Dalam pengertian
yang paling umum, istilah ini dapat digunakan untuk setiap desain yang
menunjukkan geometri simetris kompleks, seperti jaring laba-laba, susunan
kelopak dalam bunga atau bunga, gambar dalam kaleidoskop, jendela kaca patri di
katedral Gothic atau desain labirin di lantainya.
Menurut Jung, pengunaan mandala dalam praktik
spiritual dan religius dari berbagai budaya dan ilmu kimia menarik perhatian.
Menurutnya, mandala adalah “ekspresi psikologis totalitas diri”.
5. Pendekatan praktik Grof dan Grof (1990)
Unsur-unsur dalam HB adalah bernapas lebih
dalam dan lebih cepat, musik yang menggugah, fasilitas pelepasan energi melalui
gerakan spefisik. HB dapat dilakukan secara satu per satu. Pertama, peserta
menerima persiapan teoritis mendalam yang mencakup deskripsi sesi Holotropic
(biografi, perinatal dan transpersonal) dan instruksi teknis dari kedua experiencers
dan pengasuh. Pernapasan Holotropic lebih cepat dan lebih dalam dari
biasanya, umumnya tidak ada instruksi khusus lain yang diberikan sebelum atau
selama sesi untuk tingkat, pola, dan sifat bernapas. Peran pengasuh selama sesi
adalah tanggap dan tidak mengganggu, memastikan pernapasan yang efektif,
menciptakan lingkungan yang aman, menghormati pengungkapan alam peserta, dan
memberikan bantuan dalam segala situasi yang memerlukannya. Sesi berakhir
biasanya antara dua dan tiga jam. Namun, sebagai aturan umum, proses ini
diperbolehkan untu mencapai penutupan alami. Pada periode penghentian
fasilitator menawarkan pelepasan belom menyelesaikan semua ketegangan emosional
dan fisik aktif selama sesi.
https://www.youtube.com/watch?v=Veqj81MFlcQ
DAFTAR PUSTAKA
Puji, P.P., Hendriwinaya, V.W. (2015). Terapi transpersonal. Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada.
Khadijah. (2014). Titik
temu transpersonal psychology dan tasawuf. Surabaya : Universitas Islam
Negeri Ampel Surabaya.
Komentar
Posting Komentar